Tradisi Tahlilan

Jan 7, 2014
Posted by Kosasih

1. Pendahuluan

Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman wali songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan ada sebagian orang masih mempercayai bahwa tradisi semacam ini dapat membawa keberuntungan tersendiri bagi yang menyelenggarakannya. Keberuntungan ini bisa berupa ketenangan hati bagi yang berhajat, berlimpahnya rezeki serta menambah rasa kebersamaan antar sesama dan bahkan mampu menambah dekat kepada Sang Pencipta selaku pemberi rezeki.
Namun apabila kita mau jujur, asal usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Budha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif pada wali songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.
Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para wali songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan.
2. Tahlilan dan Pelaksanaannya
Kata “Tahlilan” berasal dari kata “tahlil” yang dalam bahasa Arab bermakna mengucapkan kalimat thayyibah “Laa ilaaha illallah”, yang berarti tiada Tuhan selain Allah swt. Makna tahlil kemudian berkembang menjadi serangkaian bacaan yang terdiri dari kumpulan dzikir seperti tasbih, tahmid, shalawat, takbir, tahlil dan beberapa bacaan dzikir yang lain, serta ayat-ayat Al-Qur’an dan doa. Oleh karena bacaan tahlil lebih dikenal dan lebih dominan daripada yang lainnya, maka kata tahlilterpilih menjadi nama serangkaian bacaan tersebut. Dengan demikian, rangkaian bacaan inilah yang menimbulkan istilah tahlilan, yang berarti kegiatan berkumpulnya orang-orang di suatu tempat untuk membaca tahlil.
Tradisi tahlilan ini diadakan oleh sebagian besar masyarakat agar orang yang sudah meninggal diterima amalnya di sisi Allah dan mendapat ampunan atas dosanya yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah.
Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berkata, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr: 10)
Tahlilan memiliki beberapa tujuan yang manfaatnya tidak hanya dirasakan bagi keluarga yang melaksanakan saja, namun juga dapat dirasakan oleh para undangan yang menghadirinya. Di antara tujuan tahlilan bagi para undangan yang hadir dalam acara ini adalah:
  1. Menghibur keluarga almarhum/almarhumah
  2. Mengurangi beban keluarga almarhum/almarhumah
  3. Mengajak keluarga almarhum/almarhumah agar senantiasa bersabar atas musibah yang telah dihadapinya.
Adapun tujuan tahlilan bagi keluarga almarhum/almarhumah adalah:
  1. Dapat menyambung dan mempererat tali silaturahmi antara para undangan dengan keluarga almarhum/almarhumah.
  2. Meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat oleh almarhum/almarhumah semasa hidupnya kepada para undangan.
  3. Sebagai sarana penyelesaian terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban almarhum/almarhumah terhadap orang-orang yang masih hidup.
  4. Melakukan amal shaleh dan mengajak beramal shaleh dengan bersilaturahmi, membaca doa dan ayat-ayat al-Qur’an, berdzikir, dan bersedekah.
  5. Berdoa kepada Allah agar segala dosa-dosa almarhum/almarhumah diampuni, dihindarkan dari siksa neraka dan diberikan tempat terbaik di sisi Allah.
  6. Untuk mengingat akan kematian bagi para undangan dan keluarga almarhum serta dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Tahlilan sudah merupakan tradisi yang sudah dilakoni oleh sebagian masyarakat secara turun-temurun semenjak masuknya Islam di Jawa hingga sekarang ini untuk memperingati waktu kematian seseorang. Tradisi ini diselenggarakan secara berurutan, yaitu mulai malam ketujuh, keempat puluh, keseratus, pendak pisan (satu tahun), pendak pindho (dua tahun) hingga keseribu hari dari wafatnya seseorang. Setelah itu, tahlilan dilaksanakan secara periodik setiap tahun pada tanggal dan bulan kematiannya yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah kenduri atau slametan dalam rangka kirim doa, atau juga sering disebut dengan istilah “haul”.
Setelah acara selesai, biasanya yang mempunyai hajat (dalam hal ini adalah tuan rumah atau ahli warisnya) menghidangkan makanan dan minuman kepada para undangan tahlil, bahkan sebelum pulang pun juga diberi berkat (makanan/jajanan yang dibungkus untuk dibawa pulang) dengan maksud bersedekah. Seperti yang sudah disebutkan di atas, tujuan diadakannya tahlilan ialah mengirim doa dan pahala yang diperuntukkan bagi si mayit melalui serangkaian bacaan tahlil dan diteruskan dengan doa agar amal seseorang yang ditahlili (si mayit) diterima dan dosa-dosanya diampuni oleh Allah swt.
Maksud pahala disini bukan hanya berarti balasan dari Allah terhadap seseorang atas ketaatannya menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun makna pahala dalam acara tahlilan ini ialah kenyamanan dan kenikmatan atas Rahmat dan Maghfirah Allah swt yang dirasakan seseorang baik diperoleh dari amal salehnya selama hidup di dunia maupun atas pemberian hadiah dari orang lain melalui mengirimkan pahala kepada seseorang yang dituju. Sehingga menghadiahkan pahala dimaksudkan untuk menjadikan ganjaran dari sebuah amal agar dapat dinikmati oleh orang lain yang dituju dan juga dapat dinikmati oleh orang yang membaca itu sendiri.
3. Tahlilan: Bid’ah Atau Bukan?
Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi saw. Lebih tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka meyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, sehingga termasuk bid’ah. Dan mereka tak segan-segan menjatuhkan vonis neraka jahannam bagi orang-orang yang tetap mengamalkannya. Mereka merujuk pada sebuah hadits Rasulullah saw yang sangat populer berikut:
و شرّ لأمر محدثاتها وكلّ بدعة ضلالة وكلّ ضلالة في النّار (رواه مسلم و النّساء)
Artinya: “Perkara yang terburuk adalah pembaharuan-pembaharuan, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempat tinggalnya di neraka” (HR Muslim dan Nasa’i).
Namun perlu diingat, para wali songo dalam berdakwah sangat mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, di kala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan Budha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasaan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para wali apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya. Mereka juga tidak sembarangan membuang adat-istiadat yang mereka lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang masih dalam koridor syari’at dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para wali songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun semakin membenci pada Islam yang justru semakin menghambat berkembangnya agama yang dibawa baginda Rasulullah saw ini. Strategi wali songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi’i yang dikutip dalam buku “Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi:
Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah hasanah berarti bid’ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalalah berarti bid’ah yang bertentangan dengan sunnah.
Maka dari itu, definisi bid’ah perlu diluruskan kembali pemahamannya. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa’i diatas merupakan dasar agama yang sangat urgen dan universal sehingga maknanya masih umum. Akan tetapi, hadits tersebut dibatasi maknanya dengan hadirnya hadits yang lain:
من أحدث في أمرنأ هذا ما ليس منه فهو ردّ (رواه بخاري ومسلم)
Artinya: “Barangsiapa yang membuat pembaharuan dalam agamaku ini dengan hal yang bukan dari-Nya maka ia tertolak” (HR Bukhari Muslim)
عن ابن مسعود موقوفا: ما راد المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما راد المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح (أخرجه أحمد)
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud ra: “Apa yang menurut kaum muslimin baik maka menurut Allah adalah baik. Dan apa yang menurut kaum muslimin jelek maka menurut Allah adalah jelek” (Hadits Mauquf dan ditakhrij oleh Ahmad)
Maksud hadits di atas adalah segala jenis pembaharu-pembaharu yang sama sekali tidak berdasarkan kaidah syara’ maka amalannya ditolak oleh Allah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah setiap amalan yang dilakukan tanpa ada legalitas syari’at sama sekali, bukan hanya dimaknai dengan setiap amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw saja.
Memang setiap perbuatan atau amalan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw adalah sunnah dan dianjurkan untuk diamalkan oleh umat Islam, namun bukan berarti segala apa yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh beliau disebut bid’ah seperti yang telah dinashkan pada hadits yang pertama tadi. Dicek terlebih dahulu apakah amalan yang tidak dicontohkan oleh beliau masih terkandung nilai-nilai yang selaras dengan sunnah atau tidak sama sekali. Bila ditemukan suatu hal yang mana bid’ah lebih banyak daripada sunnah, maka perlu dibenahi kembali amalan tersebut, apakah masyarakat masih memerlukan dan sangat berat untuk meninggalkan amalan tersebut ataukah tidak. Jika masih diperlukan, maka perlu memodifikasi kembali agar sesuai dengan sunnah, bukan malah membuangnya mentah-mentah kecuali jika benar-benar dilarang oleh hukum syara’ dan mengandung madharat yang besar.
Lalu bagaimana dengan pelaksanaan tahlilan ini? Apakah ada dasar syari’atnya ataukah tidak? Hal tersebut hingga saat ini masih dalam permasalahan perbedaan pendapat (khilafiyah) dan sukar untuk memutuskan hukum yang pasti yang status hukumnya bersifat universal. Karena masing-masing kelompok bersikukuh mempertahankan pendapatnya masing-masing yang sama-sama merujuk pada nash yang sama, yakni Al-Qur’an dan Hadits. Kalaupun tahlilan tidak pernah dilakukan pada masa kehidupan Rasulullah, maka harus dikaji dan diteliti kembali apakah pelaksanaan tahlilan mengandung nilai-nilai yang dibenarkan syara’ ataukah tidak. Yang jelas, tradisi tahlilan ini dirintis oleh para wali songo yang hingga saat ini masih dianggap sebagai generasi tabiit tabiien yang sangat diacungi jempol keberadaannya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Jika tahlilan dianggap bid’ah sehingga pelakunya diancam neraka, maka seharusnya dari dulu-dulu wali songo sudah menentangnya karena tradisi ini bertentangan dengan Islam.
Sebagaimana yang telah diungkap diatas, diadakannya tahlilan dimaksudkan agar amal armarhum diterima dan segala dosa yang diperbuat sewaktu didunia diampuni oleh Allah swt. Hal ini wajar sebab Rasulullah sendiri menganjurkan agar umat muslim selalu mendoakan umat muslim yang lain. Maka dari sinilah muncul istilah mengirim pahala yang ditujukan kepada almarhum.
Mengirim pahala ini pula tak jarang mengundang kontroversi, dikarenakan terdapat sebuah ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa si mayit tidak dapat menerima pahala dari orang lain yang masih hidup, yakni di surat An-Najm ayat 39:
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإَنْسَانَ إِلاَّ مَاسَعَى (النجم: 39)
Artinya: “Dan sesungguhnya seorang manusia tidak mempunyai hak selain pahala dari amal yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39)
Ayat diatas dengan tegas bahwa pahala seseorang diperolehnya hanya karena amal saleh yang dilakukan sewaktu di dunia. Namun ayat diatas dipersempit maknanya oleh Hadits populer berikut:
عن أبي هريرة رصي االله عنه أنّ رسول االله صلّى االله عليه وسلّم قال: إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلاّ من ثلاث, صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (رواه الترمذي)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra berkata, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya” (HR. Turmudzi).
Hadits kedua inilah yang oleh kelompok pro-tahlilan dijadikan sumber dalil diperbolehkannya tahlilan. Namun ada pula kelompok yang bersikukuh tetap tidak memperbolehkan tahlilan lantaran isi hadits tersebut hanya dipahami secara tekstual yang disitu dijelaskan bahwa amalan si mayit akan tetap mengalir apabila terpenuhinya tiga hal, salah satunya ialah anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Maka selain ahli waris, pengiriman pahala tidak akan sampai kepada si mayit. Walaupun begitu, kita tetap tidak bisa menyalahkan kelompok yang mentradisikan tahlilan karena mereka memiliki pemahaman sendiri terhadap hadits tersebut.
Status hukum tahlilan pun juga masih belum jelas, apakah sunnah ataukah sebaliknya. Yang jelas, ada kaidah ushul fiqih yang mengatakan bahwa al-urf (adat/tradisi masyarakat) yang masih sejalan dengan sunnah maka tidak bisa dihukumi haram dan bid’ah karena masih sejalan dengan sunnah. Karena itu, kita tidak perlu ribut-ribut memperselisihkannya sebab akan menimbulkan masalah baru yang dapat memperkeruh suasana keberagaman pandangan di tengah-tengah umat Islam.
Agar tidak timbul pertentangan dan konflik yang berkepanjangan di kalangan internal umat Islam, maka jalur tengahnya adalah saling mentolerir dan membuka diri antar sesama muslim. Bagi pihak yang pro-tahlilan, dipersilakan untuk melakukannya asal tidak menganggapnya sebagai hal yang mutlak wajib dilakukan. Namun bagi yang sangat antipati terhadap tahlilan, alangkah baiknya jika diam dengan tidak menjelek-jelekkan apalagi membid’ahkan pihak yang menyukai tradisi ini, atau lebih baik men-tabayyun-i (menyampaikan argumennya secara bijak) kepada pihak yang menyukai tahlilan maupun tidak. Sebab Islam adalah agama yang tidak mengajarkan perpecahan dan permusuhan antar sesama umat muslim. Justru perbedaan ini akan semakin memperkaya ajaran Islam yang berdampak pada umat Islam dan non-muslim akan semakin tertarik untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Semoga dengan diuraikannya bahasan singkat tentang tradisi tahlilan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi khazanah keilmuan Islam, khususnya kepada kaum muslimin dimanapun berada agar senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah dan saling bertoleransi ketika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Hanya Allah yang Maha Tahu yang terbaik.
(Irfan Yudhistira)